Been limiting myself from outside distractions for over a week now. Cukup berhasil karena sudah lumayan bisa mengendalikan kebutuhan untuk mindless scrolling IG meskipun jadinya malah switching ke Tiktok dan Twitter. But I consider it OK karena di Twitter agendanya cari hiburan dan berita, dan di Tiktok agendanya membiasakan diri dengan konten, platform, dan cara kerjanya sampai nanti beneran udah siap untuk seriusin konten jalan-jalan.
So.. I just had a session with my therapist tonight. Dalam sebulan terakhir, aku sudah 3x ketemu psikolog. Online (lewat aplikasi Bicarakan.ID btw, just in case), tapi so far sangat membantu. Dan setelah mengalami beberapa sesi, I could say kalo psikolog-ku yang sekarang ini enak banget, indikatornya: ngobrol kayak temen (sejam ga berasa), obrolannya mengalir (sehingga aku nggak merasa tertekan utk cari topik dan penggalian topik/isu di diriku menjadi lebih natural), dan sarannya SPOT ON. And when I say spot on.... aku berasa ditampar. She just stated the issues I'm too afraid to face.
I've been in the overwhelming spectrum of emotions post-broken heart. Seeing my pattern, usually it takes so long in me to move on from a romantic relationship. Apalagi ditambah kisah cinta yang barusan yang too good to be true, I kinda expect myself to move on lama. Ternyata... engga (I somehow feel proud of this achievement tho). I feel so much better now. And I owe it to my therapist.
Hubungan terakhir ini sedikit banyak membukakanku pada diriku. Tentang banyak unfinished business yang masih gantung dan baggage yang harus diberesin kalo aku pengen punya healthy relationship dalam konteks apapun. Dalam dua sesi terakhir, aku belajar banyak banget tentang diriku setelah ter-trigger dalam hubunganku sama Aris (akhirnya sebut nama, cape pake kata ganti orang ketiga wkwkw). Di satu sisi, rasanya aku pengen nyalahin dia banget3x tapi di sisi lain gamau victim mentality juga dan menyadari kalo berakhirnya hubungan (tanpa status) ini juga akibat aku yang belum bener-bener pulih dari isuku dengan diriku. Dan baru akhirnya malam ini aku menyadari bahwa isu terbesarku dengan diriku sendiri adalah....
SELF-RESPECT.
Pas bahas ini sama psikolog-ku rasanya kayak tertampar. I thought I was one hella friend out there who showcases so much self-love and self-respect... turns out... NO?! My ego is hijacked.
Pertemuan pertama dengan psikolog ini dilakukan dalam survival mode. I was crying the whole day over this one guy (iykyk) and beat myself up to the point where I feel like losing myself. Pas itu lebih banyak bahas tentang attachment style dan impact-nya ke relasiku dengan Aris. How I'm such an anxious dater and how it turned out to be to be meeting with such (allegedly) avoidant partner. The result? Utter disappointment. Sedangkan di pertemuan kedua barusan, lebih banyak bahas gimana caranya supaya aku bisa break the pattern dan bener-bener ngeliat gimana hal ini ternyata impact-nya ga cuma ke relasi percintaan tapi ke semua lini kehidupan termasuk pekerjaan dan pertemanan.
As an anxious dater myself, I always put too much weight on how others see myself. And base my worth on what they think. Maksudnya: "Aku merasa berharga/bagus/keren, kalau dia/mereka lagi baik/memuji aku." Akibatnya bahaya, kalau mereka nggak baik atau nggak memuji aku, aku merasa aku tidak berharga. Padahal belum tentu??? Pada akhirnya, aku akan seperti kerbau dicocok hidungnya bagi orang2 yang sayang/aku ingin impress sehingga aku akan menoleransi mereka untuk hal yang aku sebenernya nggak nyaman.... alias AKU GAPUNYA HEALTHY BOUNDARIES.
Ada konsep namanya gelas afeksi. Afeksi ini bentuknya macem2, ada cinta, penerimaan, recognition, dll. Apapun sebabnya, gelasku ini either kosong atau tidak terisi dengan ideal. Sehingga bukannya memenuhinya dengan afeksi yang aku bangun sendiri, aku mengandalkan orang lain untuk mengisi gelas itu. Dan ini sangat tricky, karena perasaan "terpenuhi" gelasnya ini enak dan menyenangkan, sehingga ada tendensi bahwa I will crave for more and will keep doing it yang bisa jadi awal dari toxic relationship. The thing is: gaada healthy relationship yang PIC utama pengisi gelasnya (pemberi afeksi) itu BUKAN si pemilik gelasnya (diri sendiri). Terlepas dari Aris dan isu komitmennya (and it's never my job to fix his issues anyway), satu reminder yang cukup menohok setiap aku mulai ter-trigger memori tentang dia adalah: JANGAN SAMPAI MELANGGAR PRINSIPKU SENDIRI HANYA AGAR GELASNYA DIISI. Do not ever lose myself trying not lose anyone.
I saw it coming. I knew since the very beginning that despite the potential that it holds, we are not going to work. I know he's gonna leave and I'm gonna get hurt. We were always walking on thin ice that could break any damn time. But I ignored when everyone said "Run!" and was in complete denial blinded by love (is it? or is it an obsession instead?) and the illusion that apparently a guy exactly my type hiked the Himalayas, liked me, and I liked him back. Oh what a Cinderella story that's never going to happen.
Jadi gimana?
Jawabannya adalah aku harus tau bahwa aku berharga. To know my worth despite what people say. Aku harus belajar melakukan sesuatu UNTUK DIRIKU SENDIRI. Bukan untuk siapa-siapa. Bukan untuk membuktikan apapun. Dalam kalimat praktikal: Aku melakukan ini karena aku senang membantu kamu/sayang padamu, bukan agar kamu mengganggapku ada. Atau kalau dalam konteks pekerjaan: Aku melakukan pekerjaan ini/begadang, bukan untuk impress bosku atau orang lain, tapi karena aku mau belajar dan harus selesai hari ini.
Sebagai produk UFLP dan keluarga disfungsional yang dianggap berharga kalau kita berhasil meraih penghargaan akademis yang "bisa diukur mata", melakukan sesuatu bukan dengan niat ingin membuktikan ternyata sangat susah. And I didn't realize how hard it is until I came out of it. It's engraved in my mind, subconsciously affecting my decision-making process. Scary.
And the route to respecting myself has always been: understanding myself.
- What are my values?
- What is okay and what is not?
- Why could I be very stubborn on my non-negotiables and VERY tolerable on some others?
- What needs do I try to fulfill while being tolerable over my boundaries?
- And why is it so?
- Is there alternative to replace the bad habit with other ones?
Well so many realizations, so many homeworks. I think that's the thing about therapy and learning about yourself every single day. You're finally aware of the blind spots you've been missing. This is why humans are complex beings and why we're always a work in progress.
Knowing thyself is journey of a lifetime.