Pages

January 25, 2021

In Between Road Trips.

Now I am sitting looking out at the window. On my way to Jakarta. Have I told you that April is coming to an end and I've been going back to Surabaya third time already?

I love window seats. Cars, buses, trains, planes. The slice of life I'm passing by fascinates me. In this very time, God is giving me a proper time to contemplate about me, myself, and everything in between.

I'm thinking about what my brain could handle during this so-called leisure time.
About the past: Exactly a year ago was AISEP, His way of how childhood dreams are being made, and my life after that which I can never think would turn out without its occurrence. Not to mention my recent failures at Cak-Ning which brought me to this very condition at the bus.
About the present: why I'm sitting here, what I'm doing in general, what I'm pursuing, and how I'm coping with tangled puzzles in my mind.
About the future: my job, my dreams, how I'm going to live the rest of my life and who I'm going to spend my life with.
---

As much as I love being in a journey, I hate leaving places. I left my heart at every corner so leaving equals to the need of forgetting, the need of letting go. New experience sounds appealing for me, but leaving means having your feelings somewhere without knowing the possibility to pick it up again someday somehow, if that makes sense.

I love road trips. The more I see people, the more I see my reflections in them. People are magnificent creatures. We think and we feel. Things like this which differ us from other beings.

In between road trips I find myself.
Getting off this bus, the other words for ending this road trip, meaning to turn those findings to executions. And to be honest, it's scary to leave home and face adulthood again.

I guess I love road trips more than ever because for a second, it allows me to do whatever I want to do with my mind: whether to be utterly fragile and run away from my problematic stories or to be fearlessly unstoppable and dream as high as possible.... with no one being judgmental. I guess I love road trips because I need that very moment (or person?) to whom I can pour my thoughts, my insecurities, my scattered plans to with them being very...understanding. Of how limited and unlimited I can be. For a second I can be no one and anyone.

In between road trips I find myself. And in between them I lost them too.

***

Somewhen on April 2019, on the train from Jkt to Sby

January 21, 2021

My Long Lost Dream.

Barusan bgt telfon sama Tika (Kartika Wensdi), temen SMP-ku dulu. Masih satu SMA sih di Smala. Penyebabnya?

"Bet, pendaftaran Pengajar Muda sudah buka. Kamu masih pengen daftar nggak?"

Dang.

Rasanya aneh: menakutkan sekaligus menenangkan. Kayak sekarang aku lagi melayang terus tiba-tiba disadarkan: helo helo, yuk turun dulu yuk sini ingat kamu tuh punya keinginan ini lohh dari dulu.

Entah kenapa, semesta (ceilah) lagi mau ngajak aku bermain-main akhir-akhir ini. Dua tahun lalu aku hampir (HAMPIR) daftar PM. Udah nulis beberapa esai dan mau konsultasi sama Tidar tapi akhirnya nggak jadi karena....aku memilih kerja dulu. Now that I'm on my 2nd year working at corporate... I start to think if THIS is what I really want to do the rest of my life. What if it is NOT? But what if it actually IS?

Jawabannya cuma satu: nyoba.

Masalahnya, berani nggak?

To be frankly honest, BANYAK banget pertimbangan yang aku rasakan untuk sekedar daftar PM sekarang. I mean...the opportunity cost? *Cry in the corner* Jujur gamau munafik tapi ya gamau sombong apa gimana juga (semoga tidak di-perceive sebagai sombong jg ya), UFLP adalah (mungkin) kasta MT tertinggi dari MT-MT program yang ada. Helooo? It's FMCG (a hundred-years-old field yang most likely akan less likely untuk bangkrut karena barangnya selalu dibutuhkan). Kedua, it's Unilever. I mean...dude??? Siapa yang gatau Unilever dan siapa yang nggak pengen kerja di Unilever (it's my dream company too in college). I bet kita semua PASTI pernah make brand-brand ULI kan (Rinso, Sunlight, Pepsodent, Lifebuoy.... banyak bgt kak). Ketiga, JUJUR. Gaji dan benefitnya......huhu. I don't come from a wealthy family with a safety net. Bahkan bisa dibilang, keluargaku cukup kekurangan juga. Dan gaji ini akan sangat bermanfaat untuk aku nabung dan ngasi ke orang tua. Jadi to give up the salary and the benefits itu pertimbangan yang HARUS banget dimasukin sebenernya. Keempat, giving up UFLP meaning giving up the quick path to becoming a manager (Meskipun sebenernya.... aku pengen jadi manager di Unilever beneran atau enggak sih? Gimana kalo sebenernya all my skills akan lebih bermanfaat kalo aku nggak pake di Sales & Marketing ULI tapi untuk bidang lainnya?)

But then again... jadi Pengajar Muda itu mimpiku sejak SMP. Artinya, aku sudah menghabiskan setengah hidupku jadi pemimpi and that's a long commitment and the desire doesn't come less tempting.  The idea of becoming masih bikin hatiku penuh dan menggebu. Masih bikin aku nangis tiba-tiba di Gojek kalo tiba-tiba keingetan. Masih bikin aku TETAP bermimpi.

Jadi Pengajar Muda juga masih salah satu cara yang bikin aku bisa berkontribusi secara tangible terhadap issue yang SELALU menggelayuti pikiranku: PENDIDIKAN. Isu ini dekat banget sama aku. Dekat banget. Gatau kenapa, I just can't help not getting triggered talking about this issue, karena akan nyambung ke isu lain yang sama pentingnya: Accessibility, Representation, Equality.

  • Accessibility: aku bisa dapat apa yang dapatkan sekarang karena aku BERUNTUNG lahir di kota besar sehingga akses utk mendapatkan pendidikan berkualitas terbuka lebar. Aku masuk Spensa sehingga aku masuk Smala sehingga aku masuk ITB sehingga aku masuk ULI. Apakah aku yakin kalau anak di desa terpencil dikasi nutrisi dan akses yang sama kayak aku maka aku nggak akan tergeser oleh mereka? Oh tentu tidak.
  • Representation: selama ini aku berpikir, kenapa I try so hard to survive in UFLP? Oh yes, karena nggak pernah ada anak Surabaya di UFLP (at least as far as I know) sebelumnya. Terus kenapa? Karena kalau aku stay, adek-adek kelasku dari Surabaya akan melihat aku sebagai contoh bahwa anak Surabaya bisa sehingga mereka merasa: MUNGKIN AKU BISA JUGA. Mereka jadi berani bermimpi.
  • Equality: gimana kita bisa tau mana yang terbaik untuk kita kalau kita nggak dikasi kesempatan yang sama? Dalam hal gender, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain.... Think about it.

Di masa kebingungan kayak gini.. aku jadinya selalu bertanya lagi sama diriku. Udah tau pengen jd PM, ketika waktunya sudah pas.... kok ya aku masih tetep gamau daftar? Niat nggak sama keinginan jadi PM sebenernya? Maksudnya, aku daftar 2 tahun lalu, sekarang, atau 2 tahun lagi ketika sudah lulus UFLP pun nggak akan ada bedanya kan? Aku akan selalu punya hal lain yang aku rasa "lebih penting untuk jadi prioritasku sekarang" dibanding jadi PM. Ya karena....manusia kan gapernah puas!!! Huf...

Tapi entah kenapa... yang kali ini rasanya kok banyak tanda:

  1. Tiba-tiba cukup "deg" ketika lihat Pendaftaran PM buka lagi. Padahal dalam 2 tahun terakhir sudah agak 'menutup pintu" karena oh mungkin belum skrg waktunya jadi PM, aku mau fokus karir aja dulu'. Tapi kok kayak.... jadi banyak ter-ekspos.
  2. Ngobrol sama Dee di Pantai Petitenget Senin lalu dan... merasa sangat ter-encourage untuk go for it. Go for something I've dreamed of long time ago. Go for something I am always afraid to do.
  3. I have a close friend yang barusan pulang dari PM Musi Rawas.
  4. Tika tiba-tiba ngechat tentang PM. Padahal dia tau aku pengen jd PM dari lama tapi dia baru nanyain aku SEKARANG.

Ya aku juga ngga tau sih ini tanda atau ngga. Toh kalo daftar juga belum tentu lolos dan berangkat (it's a looooong way to go dari pendaftaran, seleksi, pelatihan, sampe akhirnya beneran berangkat ke penempatan). Tapi mungkin... MUNGKIN.... memang sekarang saat yang tepat untuk YAUDALAH GO FOR IT. Terus kenapa kalo nggak UFLP? Terus kenapa kalo ga dapet gaji gede lagi setahun? Kenapa?

Gimana kalo ternyata ini memang sesuatu yang akan bikin kamu berbunga-bunga setiap harinya? Beneran mendekatkan kamu ke mimpi untuk bangun sekolah-sekolah di daerah terpencil? Gimana kalo kemampuan kamu memang akan lebih dibutuhkan disini daripada di Unilever?

Gimana kalo Allah membuat kamu nggak daftar PM 2 tahun lalu karena Dia ingin kamu masuk Kantar, supaya kamu masuk Unilever, supaya kamu pernah ditempatkan di Medan untuk merasakan hidup sendiri, kerja sama orang-orang yang lebih berpengalaman, dengan segala pressure yang ada, sebagai pengalaman berhargaku yang bisa aku bawa sebagai PM?

Hmffh... mungkin jalan satu-satunya untuk menjawab semua pertanyaanku di atas emang cuma satu: daftar aja.

Tadi di call Tika tanya, sebenernya tujuanku ikut Pengajar Muda apa?
  1. Panggilan hidup?
  2. Membuktikan sesuatu?
  3. Sesimpel lagi mau keluar dari duniaku sekarang?
I think it is and has always been no 1.
It has always been my calling and that's why I never get tired of dreaming it even 12 years later.

Aku ada di sini karena banyak orang ngebukain pintu buat aku. Dan aku ingin ngebukain pintu untuk orang lain supaya mereka bisa bukain pintu untuk lebih banyak orang lagi. Aku ingin membuat anak-anak di daerah terpencil itu melihat dunia yang lebih luas dan berani bermimpi. I am here because of my dreams and I want them to get them where they want to be because of their dreams.

Bismillah. Kalau niatnya baik, Allah yang akan bantu selesaikan.

PS: I just read Tidar's note titled Catatan Syukur Pengajar Muda and I almost shed a tear. Huhu ya Allah bismillah, kalo memang jalanku insyaAllah nggak akan tertukar.

January 20, 2021

January 9, 2021

All that Comes with This Bigger Number.

My first post in 2021 is written on my way to Bali. During the pandemic. I know we're being crazy. But really this WFH thing is killing us so we are really gonna work from (temporary) home....in Ubud. A week of new view wont hurt, hopefully. We? Yes, me and Hanun.
Sebenarnya ini udah hampir tengah malem, udah siap mau bobo di travel. Tapi karna lg pasang lagu cozy dan suasana mendukung....jadi berkontemplasi.

Allah tuh...baik banget.
Barusan ikut kelas GMAT bareng Nadia dan kita berencana bikin side project yg bikin kita paling tidak jadi manusia berguna lagi. We're longing for that fulfillment feeling. Terus jadi mikir....udah 2 taun aku masuk dunia kerja.
Sudah 25 bulan tepatnya, now is my 26th month. Dua tahun, waktu yang lama tapi cepat. Rasanya ga berasa tapi berasa. Dan....emang banyak bgt berubah rasanya. Mulai dari yg intangible spt caraku memandang hidup, sampai yg tangible spt.....gaji.

Masih dalam euforia hari Rabu dimana dapet email dari Pak Wahyu yang ternyata adalah surat yg menyatakan kalo gajiku....naik. During the pandemic. I was expecting this, but with this pandemic and stuffs, surviving is more than enough let alone salary rise. Allah baik bgt.
Seriously kalau ada yg baca ini semoga ga salah tafsir jadi sombong atau pgn pamer, ini sarana refleksi diriku sendiri aja. Rasanya masih gapercaya naik gaji. Lebih ke: DO I REALLY DESERVE THIS MUCH PAY? 🥺
I'm not sure if this fact or simply is my impostor side taking lead. Tentu saja aku bersyukur, it's just that I'm....not prepared for this. All my life, denger kata 10 juta aja rasanya kaya BANYAKKK BGT. Banyak banget. Dan dengan kondisi keluargaku yg ekonominya ya begitulah (this topic still triggers me emotionally), punya 10 juta secara insidental aja rasanya hampir ga mungkin, apalagi punya 10 juta secara rutin. Mungkin inilah salah satu sebab aku selalu merasa impostor ya, selalu merasa undeserving. Bayangin orang kerja kok enak banget ya, punya 10 juta rutin. Bisa lakuin ini itu dan less afraid to take risky challenges.

Nah sekarang masalahnya, they pay me XX-times 10 juta. SECARA RUTIN. I do NOT anticipate this feeling. I don't think I will ever all my life. And this happens....so fast. Too fast.

I remember my first role in Kantar...they paid me 5.5jt/month. That time I thought yauda gapapa toh fresh grad harus banyak belajar. Ngerasain ngekos di tempat di Kuningan dgn kosan harga 1jt perbulan (tolong dibayangkan seburuk apa dgn rate Kuningan). No AC. Campur cowok-cewek (worst decision). Kamar mandi luar. Sabun sering dicuri tiba2 abis. Digodain abang genit. Orang sebelah nyanyi kedengeran. Pernah kena kutu rambut pula. The list goes on and on.
Now here I am 2 years later. Move to even bigger company. Highly reputable one. Pay me XX times my first salary only after 1.5 year joining. Afford to take kosan rate 2-3jt dengan TV dan kamar mandi dalam tanpa merasa terbebani. Able to buy anything I want. And what my family wants. Feeling okay and child-like ecstatic buying KFC bucket (finally). Now going to Ubud without really thinking on the expenses just bcs I need the so-called peace of mind. The list goes on and on. And this happens....so fast. Too fast.

Rasanya senang dan menakutkan. Kayak...now what again? Where's the poop? When something's too good to be true then it's not true, ya kan? Well...I do not hope so. But still it haunts me. Aku nggak mau terbuai dengan semua ini. If I were not what my role is, who am I?

I still want to be called as some kind of person, human. With my being, interest, emotions. Not some kind of title nor achievements nor numbers. Because I have stories and that's what I hope my strength comes from. I hope these golds won't blind me.

Tapi ya Allah, if You really think I deserve all this....then help me. Help me to make use the best of it. To be able to learn, contribute, and give my 100% to my company while at the same time letting others grow through me.
Mampukan aku untuk bisa memanfaatkan rezeki-Mu ini sebaik-baiknya untukku dan orang-orang sekitarku. Untuk bukain lebih banyak pintu sehingga mereka bisa bukain pintu untuk yang lain, so they can build their own privilege too.

Bismillah..