Pages

March 25, 2018

Minggu Sendu: Gatun yang Pergi dan Pindahan Kosan.

Hari ini hari Minggu.
Besok Senin, terus Selasa, Rabu, and the rest you can do it on your own.

Pada dasarnya hari ini dan hari-hari selanjutnya, dalam satu minggu ke depan akan terlewati menjadi seperti minggu-minggu yang sudah terlewati aja, hanya........................akan lebih sendu.
Hari ini aku sedih. Tadi pagi bangun bukan karena butuh bangun aja, tapi karena harus bukain pager untuk Gatun yang harus udah pulang ke Surabaya terus ke Semboro lagi buat kerja. I might look dumb and careless and sleepy (it's 4.30 am in the morning anyway), but deep down: that's me hiding my sadness.

Sering nggak si ngerasa sedih gitu habis ada acara rame-rame selama beberapa waktu, terus tiba-tiba tempat yang rame itu jadi tiba-tiba sepi. Aku ini seringggg buangat marah sama Gatun, sebel, sampe kadang kesel-kesel sendiri, tapi namanya keluarga...... aku seneng banget waktu tau Gatun akan kesini. Meskipun awal tahun ini aku sering pulang, tapi kapan si kamu ngerasa punya waktu cukup sama keluarga? Gatun dateng kesini ini udah aku tunggu-tunggu sejak 3 minggu lalu, meskipun kesini cuma 3 hari dan cuma cari kosan dan ke museum-museum atau wisata kuliner, rasanya kayak refreshing dan ngobatin kangen keluarga banget. Fakta bahwa Gatun sebentar lagi akan menikah juga sedikit banyak bikin aku sedih...karena artinya abis ini Gatun udah punya keluarga sendiri untuk diurusin. Mungkin akan jarang di rumah, jarang mampir-mampir.....and it's gonna be me being the role model for my sister, something I can't even come close to.

I am a mess.

Minggu ini juga minggu pindahan. Pindahan? Iya, dari kosan Eyang yang sangat legendaris ini. Entah, bener atau nggak, katanya kamarku mau direnovasi karena anaknya yang dari Kanada mau dateng. Let time reveal. Intinya, sedang sedih karena.....aku cinta kamarku. It's like my safe place, yang tau segala rahasiaku, mengikuti bahagiaku, bersama dalam sedihku, dan setia. If there's one thing that stores any memories other than my brain, it's my room and my room only. Buku ganti tiap semester, HP ganti tingkat dua, baju datang silih berganti....but my room, it stays. Kamar ini jadi saksi banyak kejadian penting dalam kehidupan kuliahku. Dari Bethari yang hanyalah anak yang tidak seberapa pintar dari Surabaya yang terkenal karena medoknya, mulai TPB, hingga Bethari anak keamanan yang bertemu Nabil, mengalami pacaran pertama kalinya, lalu galau dan putus sampai nangis-nangis berbulan-bulan berikutnya, hingga jadi Bethari yang nyolot saat osjur Pabrik dan pada akhirnya ditaksir kakak tingkat idola seluruh orang di himpunan yang kemudian ditinggal nikah, dan juga dari Bethari yang cupu dan ditolak semua program hingga menjadi Bethari yang kuat dengan penolakan dan dikenal banyak orang karena ikut ini-itu dan akhirnya dipercaya untuk jadi pembicara di sebuah himpunan lain karena itu. Alot happened and along the way, within all the struggle, my room is the only one which stays.

Kalian pernah ngerasain rasanya pengen curhat kan? Kadang kamu nggak perlu solusi atau jawaban, yang kamu butuhkan cuma seseorang yang mendengarkan. Kamarku adalah yang selalu mendengarkanku. Entah, seminggu ini aku sepertinya akan menikmati hari-hari terakhirku dengan kamarku yang sudah menemaniku hampir 4 tahun.

You know, sometimes you don't need knives to end one's life. Take back memories she'd keep all at sudden, or simply be her world and comfort zone for all year long and vanish....you got them.

Rasanya pindahan kosan ternyata semenyedihkan diputusin pacar.

March 21, 2018

Konsep Gagal yang Sangat Personal.

Just had a very nice coffee talk with XLFL peeps. And as per usual, it's been a good food for mind.
My Saturday night has never been this insightful!

***

Anyway, Tidar and Kak Reni is expecting.........TWINS! Cant anymore be happier to welcome them hihi. Nah, Sabtu malem kemar sehabis observasi untuk mini SIP (Social Innovation Project), Tidar cerita kalo Kak Reni lagi ngidam...........lihat-lihat batik di Pekalongan.
"Terus, Tidar ke Pekalongan?"
"Tentu saja....................Tidak."
HAHAHA. Lalu cerita ini berlanjut ke salah satu malam dimana aku mendengar cerita yang sangat.....wow, yang membuat aku langsung bilang:
"TIDAR, TOLONG PERTEMUKAN KAMI SAMA BELIAU-BELIAU ITU."
Dan beliau-beliau tersebut adalah Pak Johan dan Bu Agnes.

Pak Johan dan Bu Agnes adalah mentor Tidar. Mereka suami-istri yang kebetulan jadi orang tua asuh (is this term true? idk anyway) di Sabang Merauke, sebuah NGO yang didirikan oleh Tidar dkk. Menurut cerita Tidar, pasangan ini adalah pegiat yoga dan orang yang kaya (banget). Hubungannya apa? Soon you'll find out deh. Yang jelas, suatu saat nanti, aku pengen kayak mereka.

Akhirnya, daripada harus ke Pekalongan jauh-jauh untuk lihat batik aja, akhirnya Tidar menghubungi pasangan ini yang ternyata adalah kolektor batik yang sampai 300 lembar kain. Wow. Baru sekarang ini benar-benar menyadari aku punya koneksi yang cukup dekat dengan seorang kolektor batik. Coba deh, di bayangan kalian ngoleksi batik tuh kaya gimana sih? Sejak Tidar cerita, aku baru tahu kalo ternyata KAIN BATIK HARGANYA BISA SAMPAI 250 JUTA.

250 JUTA.
2 5 0   J U T A.

Gila gak sih, udah bisa buat beli rumah. Harga kain batik yang mereka koleksi ini paling murah 1-2 juta lah, yang standar-standar itu harganya 8-10 juta. Tapi banyak juga yang harganya kayak beli motor, 25-75 juta gitu. Pertanyaan yang muncul di pikiran pasti: NGAPAIN BELI KAIN MAHAL BANGET???

Iya sama, itu juga yang aku tanyain. Dan ternyata, jawaban Tidar adalah:
"Bu Agnes dan Pak Johan ini menggeluti yoga. Mereka thoughtful banget setiap ambil keputusan dan ya memang nggak perhitungan untuk beli kain semahal itu karena itu adalah apresiasi mereka terhadap seni. Mereka juga nggak suka nawar. Selaian ya karena mereka memang mampu, tapi juga karena menurut mereka, kalau kita dikasi harga sekian, berarti penjual ini menilai kita mampu membayar seharga itu. Kalau kita nawar, ya itu artinya kita merendahkan penjual itu dan terutama merendahkan diri kita sendiri di hadapan penjualnya."
Kebetulan dua orang ini, kalau cari kain batik memang menghayati, dalam artian, memang cari kain batik sampe ke desa-desa tempat perajin batiknya berasal. Sebaliknya, perajin batik ini juga nggak main-main dalam membuat batik. Setelah dengar cerita Tidar ini, aku jadi menyadari bahwa batik memang sebuah mahakarya budaya yang pantas dinobatkan culture heritage UNESCO karena memang nilai seninya luar biasa, sampai dianggap oleh perajin kayak anaknya sendiri. Ada seorang perjain di Pekalongan, sebut saja Bu S, yang nggak memperbolehkan pembeli untuk langsung lihat dan beli kain-kain buatannya. Terus? Beliau harus ngobrol dulu sama calon pembelinya sampai beliau yakin kalau calon pembeli ini memang sanggup merawat batik karyanya, baru beliau carikan kain batik yang sesuai karakter pembelinya. Kalau menurut beliau calon pembeli yang bersangkutan nggak kapabel, ya meskipun dibeli harga mahal, beliau nggak mau ngasi.
Sangat.........sakral. Ya selama ini yang aku tau batik ya......batik. Batik sekolah, batik guru, batik di Baltos, dan batik-batik murah lain (yang memang murahan). Batik yang dibuat dengan mesin cetak sehingga nilainya hilang. Good treat on the eyes but none in values. Padahal ternyata batik itu bener-bener dibuat pake hati, kesabaran, dan ketelitian. Se-sabar dan se-teliti itu. Satu kain ukuran standar itu jadinya bisa 3 bulan. Belum lagi pewarna kainnya yang dari bahan alami dan diusahakan sedemikian rupa sampai sesuai keingin.

Ok kita balik ke keadaan sekarang. Setelah denger cerita beberapa batik Pak Johan dan Bu Agnes, Tidar terus ngelihat satu kain batik warna abu-abu yang cantik banget. Kebetulan Tidar foto batiknya dan YES, YES, BATIKNYA MEMANG CANTIK BANGET. Kayak ornamen perabot Cina yang biasanya warna biru-putih itu tapi ini abu-abu. Aduh pokoknya cantik banget. Refleks Tidar tanya harganya berapa kain batik secantik itu. Dan ternyata harganya..............nol. Alias gratis.

T : "Kok bisa gratis?"
J : "Iya, ini bonus setelah kain batik yang ini." (Pak Johan ngeluarin satu kain batik lain warna-warni motif kupu-kupu yang ternyata harganya 75 juta)
J : "Tahun 2012, Agnes datang ke Pak Supono, perajin di Cirebon. Dia bilang ke Pak Supono, 'Pak, sejak saya mengoleksi batik tahun 2007, saya punya mimpi untuk punya kain batik yang isinya 1000 kupu-kupu, nggak ada bunga, daun, cuma kupu-kupu. Tiba-tiba Pak Supono sambil kaget bilang 'BU, SABAR. SEBENTAR, JANGAN PERGI DULU, SAYA TUNJUKKAN SESUATU'. Akhirnya Pak Supono masuk ke dalam dan ngambil sebuah kain batik yang kemudian ditunjukkan dan isinya kupu-kupu dan hanya kupu-kupu, seperti yang Agnes impikan. Lalu Pak Supono menunjukkan watermark-nya di pojok kain, dibalik, dan disitu tertulis 'SUPONO, 2007'. Bukan Agnes yang memilih kain ini, tetapi kain ini yang memilih Agnes. Nggak ada alasan untuk nggak beli kain ini."
T : "Terus kenapa yang ini digratiskan?" (Sambil pegang kain batik cantik warna abu-abu)
J : "Ini produk gagal makanya dikasi gratis."
T : "Sebagus ini produk gagal, Pak? Gagal dimananya?"
J : "Pak Supono ingin batik ini warnanya putih. Bukan abu-abu kayak gini."
T : "Udah, karena itu aja?"
J : "Iya. Perajin batik itu, sebelum mereka membuat batik, sudah punya bayangan mau motif seperti apa, warna seperti apa. Kalau tidak sesuai, ya sudah berarti gagal."

Lalu detik itu juga aku belajar, bahwa konsep gagal setiap orang itu sangat personal. Begitupun dengan konsep sukses.
Yang kita lihat, batik itu cantik, indah, karya seni yang luar biasa. Tapi menurut Pak Supono, itu tidak sesuai dengan yang dia inginkan dan dia anggap gagal. Siapa yang benar, siapa yang salah? Nggak ada.

Karena konsep berhasil dan gagal itu sangat personal.

Kadang kita nggak pernah tau kenapa seseorang terlihat nggak pernah puas, kenapa sudah menaklukan dunia dan melakukan banyak hal tetap aja nggak berhenti. Karena mungkin, dia belum mencapai konsep berhasil yang dia inginkan, dan berusaha keluar dari konsep gagal yang sedang dia ciptakan sendiri, sedangkan kita terjebak dalam konsep berhasil yang kita ciptakan dengan memanfaatkan kondisi orang lain tersebut.

Membandingkan wujud karbon kita dengan wujud berlian mereka,
Membandingkan pengalaman puncak kita dengan perjalanan lembah mereka.

Dua hal dengan semesta yang berbeda, dengan alur waktu yang berbeda. Yang nggak sama, nggak bisa disamakan, dan nggak akan pernah sama dan disamakan.

Jadi? Let's just embrace our process, whatever comes our way and whatever lessons learned along the way.
For we deeply understand, our perspective of success and failure doesn't need any validation from anyone else. This is an ultimate concept created, experienced, and evaluated by none other than ourselves in which nobody's got nothing to do with.

And it is our freedom to define so.

March 20, 2018

Look Across the Distance, and Just Look.


Rebecca Solnit - A Field Guide to Getting Lost
as seen here on Medium

March 8, 2018

Ok Girls, Let's Do This.


Some women fear the fire,
some simply become it.

HAPPY INTERNATIONAL WOMEN'S DAY!

March 7, 2018

Space, Cowboy.

You can have your space, cowboy
I ain't gonna fence you in
Go on ride away, in your Silverado
Guess I'll see you 'round again



I know my place, and it ain't with you
Sunsets fade and love does too




Yeah, we had our day in the sun
When a horse wants to run, ain't no sense in keeping the gate


You can have your space, cowboy





Kacey Musgraves' Space Cowboy

March 6, 2018

Living This Agriculture Revolution Trap.

The first part of the plan went smoothly. People indeed worked harder. But people did not foresee that the number of children would increase, meaning that the extra wheat would have to be shared between more children. Neither did the early farmers understand feeding children with more porridge and less breast milk would weaken their immune system, and that permanent settlements would be hotbeds for infectious diseases. They did not foresee that by increasing their dependence on a single source of food, they were actually exposing themselves even more to the depredations of droughts. Nor did the farmers foresee that in good years their bulging granaries would tempt thieves and enemies, compelling them to start building walls and doing guard duty.

Then why didn't humans abandon farming when the plan backfired?

Partly because it took generations for the small changes to accumulate and transform society and, by then, nobody remembered that they had ever lived differently. And partly because population growth burned humanity's boats. If the adoption of ploughing increased a village's population form 100 to 110, which 10 populations would have volunteered to starve so that the others could go back to the good old times? The was no going back. The trap snapped shut.

The pursuit of an easier life resulted in much hardship, and not for the last time. It happens to us today. How many young college graduates have taken demanding jobs in high-powered firms, vowing that they will work hard to earn money that will enable them to retire and pursue their real interests when they are thirty-five? But by the time they reach that age, they have large mortgages, children to school, houses in the suburbs that necessitate at least two cars per family, and a sense that life is not worth living without really good wine and expensive holidays abroad. What are they supposed to do, go back to digging up roots?

No, they double their efforts and keep slaving away.


An excerpt from SAPIENS
A Brief History of Humankind
by Yuval Noah Harari

March 5, 2018

Sebuah Pelajaran Hidup dari Buku Manajemen Inovasi.

It is important to recognize that Herbert Spencer was mistaken in describing Darwinian
biological evolution as the survival of the fittest. In fact, as the eminent biologist,
Kenneth Boulding has pointed out, it is more appositely described as the survival of the fitting,
since an organism's survival depends upon how well it fits into its environmental
niche rather upon by some undefined standard of fitness.

The same can be said of a technological innovation.
It doesn't have to be the fittest in the sense of incorporating the most up-to-date,
powerful, and sophisticated features of the technology. Rather, it should be
fitting in the sense that it should be designated to satisfy
its end-user needs as closely as possible.

Things I Realize When I Get Older.

Adalah sebuah sifat alami manusia bahwa kita selalu merasa benar.

Jadi inget salah satu isi forum 2 YLI yang pembicaranya Farina Situmorang (btw, she's so damn cool. hands off):

AS YOU GROW UP THO,
YOU (MAY) HAVE MORE
PERSPECTIVES ON THINGS.

Once at a time, when you think someone else is doing wrong.
Remember: they are only trying and doing their best. Whatever best means.
(cited from Farina's presentation)

***

Jadi akhir-akhir ini, sejak aku mulai mengejar banyak professional experiences instead of organizational experiences, menyadari bahwa somehow aku mulai menjauh dari kehidupan sosial yang aku idam-idamkan (building my own education foundation is still my dream tho), dan mengenal banyak orang dengan background professional yang wow yang membuatku ciut........aku menyadari sesuatu. And that's how I know I finally open my eyes wide enough.

Here's one major thing I just realized only when I get older:
Setiap orang itu ingin mengubah dunia......dengan caranya masing-masing.

Punya mimpi yang sangat tinggi untuk bangun sekolah-sekolah di pedalaman Indonesia dan mencerdaskan anak-anak di sana...aku selalu berpikir bahwa tiap orang seharusnya seperti aku. How arrogant, I know right. Setiap orang seharusnya bermimpi seperti aku yang ingin memajukan Indonesia, apalagi orang-orang yang lebih pintar dan berpendidikan di luar sana, apalagi orang-orang dengan duit banyak di luar sana. Mereka harusnya memanfaatkan kepandaian dan kekayaannya untuk menyejahterakan jutaan orang lain yang tidak seberuntung mereka. Seperti aku. So what happens next is predictable: aku selalu memandang orang yang memiliki mimpi untuk kerja di korporat (or BUMN or whatever it is) yang tujuannya untuk memperkaya diri sendiri seharusnya dimusnahkan dari muka bumi ini. So radical.

Only then I finally realize some other things....
Nggak semua orang yang pengen kerja di korporat cuma pengen kaya. Some of them are living their passion. Mungkin memang mereka menikmati bekerja di suasana seperti itu dan berkontribusi ke Indonesia dengan pemikiran mereka di perusahaan tempat mereka kerja. Such as: kerja di McKinsey karena ingin membantu perusahaan meningkatkan profit yang pada akhirnya akan menyejahterakan ribuan pekerjanya juga.
Begitupun dengan orang-orang dengan mimpi berbau kemanusiaan. You can't give others what you don't have. In other words: kamu nggak bisa punya mimpi untuk ngasi duit ke orang yang membutuhkan kalo kamu nggak punya duit. Jadi nggak bisa juga kita hidup cuma ngasi-ngasi doang tapi dari dalem sebenernya kita menggerogoti diri sendiri.

Beberapa waktu lalu aku juga jadi assessor StudentsCatalyst Chapter 5 Bandung dan aku berkesempatan untuk bacain esai calon students-nya. Salah satunya adalah what they'll be in 2030 and their future aspirations. Sekali lagi aku tersadarkan, bahwa nggak ada mimpi satu orang yang lebih baik dari mimpi orang lain. Karena sebaik-baiknya mimpi adalah mimpi yang diusahakan dan dijadikan nyata. So whatever that aspiration is, apakah terkesan memperkaya diri sendiri atau tidak, ketahuilah setiap orang hanya ingin menciptakan kondisi yang lebih baik daripada kondisinya saat ini dengan bermimpi. Dan kalaupun pada akhirnya hanya memperkaya dia sendiri, paling tidak jumlah masyarakat miskin akan berkurang walaupun cuma satu....and that's a good thing too!

Intinya, sekali lagi, adalah bahwa setiap orang ingin mengubah dunia, tapi dengan caranya masing-masing. Dan nggak ada yang salah dengan tiap cara mereka. Kadang yang kita butuhkan cuma pemahaman..... dan waktu.

In the end, once again. They are only trying and doing their best. Whatever best means. And we are no God who can judge that ours are the best without knowing how others are.