My Saturday night has never been this insightful!
***
Anyway, Tidar and Kak Reni is expecting.........TWINS! Cant anymore be happier to welcome them hihi. Nah, Sabtu malem kemar sehabis observasi untuk mini SIP (Social Innovation Project), Tidar cerita kalo Kak Reni lagi ngidam...........lihat-lihat batik di Pekalongan.
"Terus, Tidar ke Pekalongan?"HAHAHA. Lalu cerita ini berlanjut ke salah satu malam dimana aku mendengar cerita yang sangat.....wow, yang membuat aku langsung bilang:
"Tentu saja....................Tidak."
"TIDAR, TOLONG PERTEMUKAN KAMI SAMA BELIAU-BELIAU ITU."Dan beliau-beliau tersebut adalah Pak Johan dan Bu Agnes.
Pak Johan dan Bu Agnes adalah mentor Tidar. Mereka suami-istri yang kebetulan jadi orang tua asuh (is this term true? idk anyway) di Sabang Merauke, sebuah NGO yang didirikan oleh Tidar dkk. Menurut cerita Tidar, pasangan ini adalah pegiat yoga dan orang yang kaya (banget). Hubungannya apa? Soon you'll find out deh. Yang jelas, suatu saat nanti, aku pengen kayak mereka.
Akhirnya, daripada harus ke Pekalongan jauh-jauh untuk lihat batik aja, akhirnya Tidar menghubungi pasangan ini yang ternyata adalah kolektor batik yang sampai 300 lembar kain. Wow. Baru sekarang ini benar-benar menyadari aku punya koneksi yang cukup dekat dengan seorang kolektor batik. Coba deh, di bayangan kalian ngoleksi batik tuh kaya gimana sih? Sejak Tidar cerita, aku baru tahu kalo ternyata KAIN BATIK HARGANYA BISA SAMPAI 250 JUTA.
250 JUTA.
2 5 0 J U T A.
Gila gak sih, udah bisa buat beli rumah. Harga kain batik yang mereka koleksi ini paling murah 1-2 juta lah, yang standar-standar itu harganya 8-10 juta. Tapi banyak juga yang harganya kayak beli motor, 25-75 juta gitu. Pertanyaan yang muncul di pikiran pasti: NGAPAIN BELI KAIN MAHAL BANGET???
Iya sama, itu juga yang aku tanyain. Dan ternyata, jawaban Tidar adalah:
"Bu Agnes dan Pak Johan ini menggeluti yoga. Mereka thoughtful banget setiap ambil keputusan dan ya memang nggak perhitungan untuk beli kain semahal itu karena itu adalah apresiasi mereka terhadap seni. Mereka juga nggak suka nawar. Selaian ya karena mereka memang mampu, tapi juga karena menurut mereka, kalau kita dikasi harga sekian, berarti penjual ini menilai kita mampu membayar seharga itu. Kalau kita nawar, ya itu artinya kita merendahkan penjual itu dan terutama merendahkan diri kita sendiri di hadapan penjualnya."Kebetulan dua orang ini, kalau cari kain batik memang menghayati, dalam artian, memang cari kain batik sampe ke desa-desa tempat perajin batiknya berasal. Sebaliknya, perajin batik ini juga nggak main-main dalam membuat batik. Setelah dengar cerita Tidar ini, aku jadi menyadari bahwa batik memang sebuah mahakarya budaya yang pantas dinobatkan culture heritage UNESCO karena memang nilai seninya luar biasa, sampai dianggap oleh perajin kayak anaknya sendiri. Ada seorang perjain di Pekalongan, sebut saja Bu S, yang nggak memperbolehkan pembeli untuk langsung lihat dan beli kain-kain buatannya. Terus? Beliau harus ngobrol dulu sama calon pembelinya sampai beliau yakin kalau calon pembeli ini memang sanggup merawat batik karyanya, baru beliau carikan kain batik yang sesuai karakter pembelinya. Kalau menurut beliau calon pembeli yang bersangkutan nggak kapabel, ya meskipun dibeli harga mahal, beliau nggak mau ngasi.
Sangat.........sakral. Ya selama ini yang aku tau batik ya......batik. Batik sekolah, batik guru, batik di Baltos, dan batik-batik murah lain (yang memang murahan). Batik yang dibuat dengan mesin cetak sehingga nilainya hilang. Good treat on the eyes but none in values. Padahal ternyata batik itu bener-bener dibuat pake hati, kesabaran, dan ketelitian. Se-sabar dan se-teliti itu. Satu kain ukuran standar itu jadinya bisa 3 bulan. Belum lagi pewarna kainnya yang dari bahan alami dan diusahakan sedemikian rupa sampai sesuai keingin.
Ok kita balik ke keadaan sekarang. Setelah denger cerita beberapa batik Pak Johan dan Bu Agnes, Tidar terus ngelihat satu kain batik warna abu-abu yang cantik banget. Kebetulan Tidar foto batiknya dan YES, YES, BATIKNYA MEMANG CANTIK BANGET. Kayak ornamen perabot Cina yang biasanya warna biru-putih itu tapi ini abu-abu. Aduh pokoknya cantik banget. Refleks Tidar tanya harganya berapa kain batik secantik itu. Dan ternyata harganya..............nol. Alias gratis.
T : "Kok bisa gratis?"
J : "Iya, ini bonus setelah kain batik yang ini." (Pak Johan ngeluarin satu kain batik lain warna-warni motif kupu-kupu yang ternyata harganya 75 juta)
J : "Tahun 2012, Agnes datang ke Pak Supono, perajin di Cirebon. Dia bilang ke Pak Supono, 'Pak, sejak saya mengoleksi batik tahun 2007, saya punya mimpi untuk punya kain batik yang isinya 1000 kupu-kupu, nggak ada bunga, daun, cuma kupu-kupu. Tiba-tiba Pak Supono sambil kaget bilang 'BU, SABAR. SEBENTAR, JANGAN PERGI DULU, SAYA TUNJUKKAN SESUATU'. Akhirnya Pak Supono masuk ke dalam dan ngambil sebuah kain batik yang kemudian ditunjukkan dan isinya kupu-kupu dan hanya kupu-kupu, seperti yang Agnes impikan. Lalu Pak Supono menunjukkan watermark-nya di pojok kain, dibalik, dan disitu tertulis 'SUPONO, 2007'. Bukan Agnes yang memilih kain ini, tetapi kain ini yang memilih Agnes. Nggak ada alasan untuk nggak beli kain ini."
T : "Terus kenapa yang ini digratiskan?" (Sambil pegang kain batik cantik warna abu-abu)
J : "Ini produk gagal makanya dikasi gratis."
T : "Sebagus ini produk gagal, Pak? Gagal dimananya?"
J : "Pak Supono ingin batik ini warnanya putih. Bukan abu-abu kayak gini."
T : "Udah, karena itu aja?"
J : "Iya. Perajin batik itu, sebelum mereka membuat batik, sudah punya bayangan mau motif seperti apa, warna seperti apa. Kalau tidak sesuai, ya sudah berarti gagal."
Lalu detik itu juga aku belajar, bahwa konsep gagal setiap orang itu sangat personal. Begitupun dengan konsep sukses.
Yang kita lihat, batik itu cantik, indah, karya seni yang luar biasa. Tapi menurut Pak Supono, itu tidak sesuai dengan yang dia inginkan dan dia anggap gagal. Siapa yang benar, siapa yang salah? Nggak ada.
Karena konsep berhasil dan gagal itu sangat personal.
Kadang kita nggak pernah tau kenapa seseorang terlihat nggak pernah puas, kenapa sudah menaklukan dunia dan melakukan banyak hal tetap aja nggak berhenti. Karena mungkin, dia belum mencapai konsep berhasil yang dia inginkan, dan berusaha keluar dari konsep gagal yang sedang dia ciptakan sendiri, sedangkan kita terjebak dalam konsep berhasil yang kita ciptakan dengan memanfaatkan kondisi orang lain tersebut.
Membandingkan wujud karbon kita dengan wujud berlian mereka,
Membandingkan pengalaman puncak kita dengan perjalanan lembah mereka.
Dua hal dengan semesta yang berbeda, dengan alur waktu yang berbeda. Yang nggak sama, nggak bisa disamakan, dan nggak akan pernah sama dan disamakan.
Jadi? Let's just embrace our process, whatever comes our way and whatever lessons learned along the way.
For we deeply understand, our perspective of success and failure doesn't need any validation from anyone else. This is an ultimate concept created, experienced, and evaluated by none other than ourselves in which nobody's got nothing to do with.
And it is our freedom to define so.
No comments:
Post a Comment