Pages

November 29, 2012

Kenangan di Bis Kota.



Hari ini Ulangan Akhir Semester sudah dimulai di Smala. Besok libur, aku memutuskan untuk nggak pulang cepet. Setelah rapat SDC dan omong-omongan nggak resmi tentang Nouveau, aku pulang naik bemo lanjut bis.

Wahai kau burung dalam sangkar
Sungguh nasibmu malang benar
Tak seorangpun ambil tahu
Duka dan lara dihatimu

Wahai kau burung dalam sangkar
Dapatkah kau menahan siksa
Dari kekejaman dunia
Yang tak tahu menimbang rasa

Batinmu nangis hati patah
Riwayat tertulis penuh dengan
Tetesan air mata

Sungguh ini satu ujian
Tetapi hendaklah kau bersabar
Jujurlah kepada Tuhan

Tiba-tiba ada dua pengamen. Nyanyi lagu ini. Dan aku langsung teringat sesuatu –sesorang.

Pak Benny.

Aku senyum, dan meskipun suara sang pengamen nggak semenyentuh liriknya, aku ambil satu koin seribuan di dompet. Datanglah si pengamen dan aku masukkan koin tadi ke bungkus bekas Molto bawaannya.

Wahai kau burung dalam sangkar
Dapatkah kau menahan siksa
Dari kekejaman dunia
Yang tak tahu menimbang rasa

Ya, untuk membantu pengamen.

Tapi bukan itu yang penting –ini untuk mengenang Pak Benny.

Walaupun mungkin Pak Benny nggak inget aku, tapi aku –kami –akan selalu inget bapak.

Seorang guru yang menunjukkan wibawanya dengan cara yang berbeda, yang hingga akhir hayat mendedikasikan waktu, tenaga, dan pikirannnya (bahkan melewati batas pensiun) untuk mengajar seni musik di SMPN 1 Surabaya.

Batinmu nangis hati patah
Riwayat tertulis penuh dengan
Tetesan air mata

Terima Kasih, Pak Benny, kami semua sayang bapak :)

Pengamen di bis tadi