Pages

July 30, 2021

How We (Should) See Gratitude.

Menutup bulan Juli yang (khususnya hari ini) penuh goncangan perasaan yang berwarna-warni dengan potongan percakapan yang sangat indah antara Bethari dan Mbak Ika panutanku.

🙋 "Mba Ika, boleh nggak sih kita merasa bersyukur karena others have it worse than me?"

👸 "Kamu pernah makan lemon? Gimana rasanya? Asem pahit?"

🙋 "Pernah. Ya... asem sih....." "Aduh bentar ngomong doang udah agak bergejolak ini lidahku."

👸 "There you are salivating. Bayangkan itu dengan syukur. One day, you will remember the taste so well that you don't need anymore external triggers. Progress. Gapapa..."

Bersyukur itu bukan tentang "apa"-nya, tapi tentang "rasa"-nya. Makasi Mba Ika for the enlightenment (as usual)!

The Strength in Us: Mindset.

Jadi, lately aku sedang berusaha banget work on myself. Not in a hustle culture way of being productive & working 24/7. Tapi lebih ke intangible me: my wellbeing, my mindset, the way I approach life. Salah satunya, dengan ikut kelas Follow Your Flow x You Do You. Nggak perlu ditanya betapa aku sangat SANGAT SANGATTTT meng-advocate untuk dengerin podcast-nya FYF ya jadi ikut kelas ini cukup no brainer. Awalnya pas pertemuan 0 aku gak ikut karena kerjaan banyak bgt *cry* jadi gak kenalan secara dalem sama temen2 yg lain, but I'm catching up now!!!

Rabu, 7 Juli 2021 we had our first class dengan tema: MINDSET. Semakin kesini, aku semakin menyadari bahwa the biggest strength one can have is their mindset. Whatever we put our mind into, we become. Menuju pertemuan ini dibahas beberapa mindset yang cukup mindblowing menurutku (tapi pada saat meetup aku belum nonton videonya jujur #pengakuandosa, but now that I have), gila bagus bgt. Aku jadi menyadari bahwa beberapa mindset-ku emang masih perlu dibenerin, dan beberapa lainnya perlu di-maintain.


  1. Abundance vs Scarcity Mentality: CHOOSE ABUNDANCE
    • Abundance: pemahaman kalo resource itu ada banyaaaak banget dan GA AKAN HABIS, jadi kita nggak usah takut berbagi (dalam hal uang maupun ilmu).
    • Scarcity: mungkin karena dari pemahaman jaman dulu yang serbasusah, jadi kalo ada resource tuh pasti mikirnya resource itu sangat terbatas jadi jangan dibagi2 nanti habis
    • Seriously abis baca ini bener-bener kerasa pelajaran bahwa life is not a zero-sum game dan there is enough for everyone out there itu benar adanya. Dalam hidup ini ga harus ada yg menang dan yang kalah! Jadi jangan takut berkurang lah pokonya kalo ngasi ke orang.
  2. Agency vs Helplessness: CHOOSE AGENCY
    • Agency: "Ya aku tidak bisa mengontrol semua hal tapi ADA yang bisa aku kontrol so might as well focus on that, seperti: caraku dalam merespons sesuatu."
    • Helplessness: "Yhaela gimana lagi ya emang begini adanya" alias #AKU yang suka menyerah dan menyalahkan keadaan... he he hu.
    • Jadi inget, karena aku suka pageant jadi inget beberapa jawaban Puteri/Miss yang memorable, yaitu: E+R=O (Event + Response = Outcome). Apa hubungannya? Mager ngetik tapi ya semoga pahamlah.. ((ganiat wkwkw))
  3. And vs Or: CHOOSE AND
    • And: kita bisa memilih 2-2nya alias kata Najwa Shihab KENAPA WANITA HARUS MEMILIH, ya kurang lebih seperti itu pemirsa.
    • Or: seakan kita HARUS memilih padahal ya ada aja opsi untuk menyeimbangkan???
    • Sebenernya dengerin mindset ini cara pikirku bukan tentang definisi yg di atas sih, tp jadi keingat mindset yang diajarin Tidar: YES, AND? Alias #MulaiAjaDulu. Opportunity yang kita anggap bagus tapi kita ngerasa bodo banget, AMBIL AJA. Karena kita nggak akan pernah merasa siap guys. And-nya itu adalah semangat untuk yaudah belajar what's needed to survive following the decision.
  4. Personalized vs Universal: CHOOSE PERSONAL
    • Personalized: we have our own pace & metrics
    • Universal: persepsi2 yang dibentuk masyarakat seperti: umur 25 harus nikah!!!!
    • Tentu saja ini mirip sama realization akhir-akhir ini yang semakin baik-baik saja melihat orang-orang yang sudah S2, nikah, punya anak, dll sedangkan aku masih menikmati hidupku yg sungguh impulsif dan scattered ini wkwkw. Lagipula nikah, punya anak, dll itu juga bukan jadi patokan hidupku di umur 25. S2 ya lumayan sih agak pressure but it's okay. I will in my own right time :)

REFLECTING ON MY JOURNEY
To maintain: Abundance, And
To improve: Agency, Personalized

***

Ok sepertinya sekian karena aku capek ngerangkum bahasan berat sebenernya. Wkwk nggak cocok jadi penulis2 scientific emang w. Sebenernya nggak niat ngetik panjang lebar juga di blog sih cuma yaudahlah biar sama2 jadi refleksi dan mungkin somebody out there will find this helpful!

July 21, 2021

Corona Rage.

Seriously I've never seen a condition worse than it is recently. Corona, I'm eyeing on you.

Just this morning I received a very sad info on how my dear SDC friend, Faizal, lost both of his parents within one week. Tuesday last week was her mom, and Tuesday yesterday was his dad. Today is Wednesday.

This condition is very.....devastating. I should be working by now, but I really can't concentrate due to what's going on just today. I went to Kodam V Brawijaya to get myself vaccinated, and it was cancelled suddenly bcs the health workers was out of energy from the previous day vax. NO HEADS UP/ANNOUNCEMENT. Just like that. This is my 6th failed attempts on vaccination. Have I told you? If not, yes I'm telling you I've come to 6 different health facilities (hospital, puskesmas, mall, stations) both with and/or without appointment but no signs of getting one anytime soon. Harus marah ke siapa? Nggak tau. At this point I'm already desperate. And lost my faith already.

Of my own health. My family's. My friend's. My country's.

I am so raged. To I-dont-know-who. Who to blame for anyway? It's a collective disgrace. Sometimes I curse myself for still going out for a casual walk (despite the double mask, cap, long jacket, whatever to I hope will keep me safe). But I guess we all are exhausted with what's going on we need some (literal) fresh air. I gotta say I hate Indo govt VERY BAD with the PPKM/PSBB/whatever-you-call-it-so-long-it's-not-Karantina-Wilayah loose regulation. But at the same time, I know we have 270mn headcounts from the start. Are we rich enough to feed all? No. I'm a realistic kid.

I am so disheartened. I'm so wanting to cry to what's happening to Faizal. I am so sorry for his loss (and to others who's lost their loved ones too). Deaths are not mere number. It's somebody's father, mother, bestfriend, nephew....... Gabisa bayangin jadi Faizal. Aku dengan kondisi keluarga yang masih sehat aja very anxious & uneasy, apalagi dia. And the fact that he's a very good guy with a very pure heart..... I'm questioning everytime why did it happen to him? I really want to physically console him and give him a hug. But I can't. This stressed me out.

Cari rumah sakit susah. Cari oksigen susah. Cari duit susah. Tapi cari vaksin juga susah. Kita harus gimana? In these trying times it's just so difficult to keep a positive mindset. I know I'm in control of what I consume, but it's just so hard to be an optimist if what's on my table are bad enough to begin with.

Corona, have you not done ruining our lives? Can you vanish already?

I hate you. I can't stress this enough. I hate you. 

July 19, 2021

Titir & Her Happy Family.

Tonight I did a little research on my friend. (Well iya bukan research, jadinya sih kayak stalking hehe). But dont take it the negative way!! Jatuhnya ini kayak observation aja..

Nah jadi aku abis stalking Titir (Tir, if you happen to read this, take it as a compliment rather than as a humiliation ya! Hehe) karena Titir abis rilis shampoo & conditioner bar yang dia bikin sendiri. Ok sebelum get down on the actual thing that I want to say, mau cerita dikit tentang ini.

By the time I knew she released this, JUJUR aku senenggggg banget. Aku seneng & bangga banget Titir beneran take her concern towards the earth & sustainability seriously. Because I know she is! Aku adore banget tiap lihat postingan IG dia lagi berkebun/bercocok tanam, encourage orang-orang untuk milah sampah & bikin pupuk sendiri. Aku yang 3 bulan terakhir mulai switching ke shampoo bar pun awalnya terinspirasi dari dia untuk pindah format. Puncaknya waktu di Sumba, I see myself how committed she is dalam zero waste living ini dengan pake shampoo & sabun bar yang dipotong kecil-kecil, pake sikat gigi kayu (semoga dari Pepsodent wkwkw), dan bahkan pake REUSABLE PADS! Gila loh, pake reusable pads tuh such commitment. Menstruation alone itu udah capek with the hormones & everything. Pake reusable pads itu akan lebih sulit karena kamu harus NYUCI & NGERINGIN itu pads sampe bisa dipake lagi. Bayangin dia bahkan masih melakukan itu ketika travelling. Makanya ketika dia rilis Yaya's Secret ini aku bangga banget karena I know she lives her value & she's def on it!!

Nah karena itu aku jadi stalking IG Titir sampe bawah-bawah dong. Dan jujur, aku senenggggg banget lihat Titir dan keluarganya. They looked.... very happy together. Lucu banget. Pake baju samaan pas lebaran, piknik, liburan bareng, all trying to make Valdy (ponakan Titir) smile. Banyak juga sih keluarga yang mungkin melakukan hal ini, tapi it just shows in pictures that the happiness transcends. Pun aku masih inget banget ketika ke rumahnya Titir itu rasanya hangat banget. Sekeluarga nyambut. Orang tuanya inget nama temen-temennya. Bikin kue ultah sekelas berasa sekeluarganya ikut ngerayain. Dan yang Titir suka lakukan dari SMA itu bener-bener turunan orang tuanya banget.

I can see why Titir loves cooking, karena ibunya suka masak. Not to mention that her dad is the one who's very into nature, and that's how Titir loves hiking as well (and have hiked MANY MOUNTAINS despite not being in Pecinta Alam thing). Dan cara kedua orang tuanya membesarkan itu juga sepertinya sangat menyenangkan sampai Titir pun tumbuh jadi orang yang menyenangkan. Seneng banget liat postingan Titir main ukulele & naik gunung sama Bapaknya. Atau Titir berkebun & masak-masak sama ibunya. Atau Titir & her series of cats atau Valdy-related contents. Mungkin dari upbringing itu, Titir jadi tumbuh jadi anak yang don't seem to need external validations karena udah dapet semuanya dari dalem & dari Ring 1-nya. She also puts family first banget (ya kalo aku ada di keluarga yang terlihat sebahagia itu sih kayanya bakal jd family person bgt juga ya).

Dari sini aku belajar gitu, emang bener deh cari jodoh tuh yang bener, kayak bapak-ibunya Titir yang terlihat sangat saling melengkapi satu sama lain. Yang gak ngasal. Karena hubungan antara suami-istri itu utama banget untuk setting up the whole nuclear family later. Kalo antara suami-istri gak bener, pasti di yang lain juga ada gak benernya.

Ya intinya post ini cuma mau mengagumi keluarga Titir dari jauh aja. Liat mereka tuh hati ikut warm dan senang. Particularly liat bapaknya Titir tuh jadi pengen punya suami yang suka naik gunung & bisa main musik supaya anakku (jika aku memilih untuk punya anak) bisa diajak melakukan hal-hal menyenangkan bareng-bareng kaya gitu. So that my kids grow to be a happy & accomplished one from within since very beginning. AAMIIN.

Hehe manusia berencana & mengusahakan, Tuhan yang menentukan................

July 15, 2021

Manglayang, 2016.

Pohon-pohon tinggi beserta rintik hujan menyambut satu perasaan yang kini mulai terasa tak asing lagi bagi saya. Perasaan campuran antara rasa senang, bangga, puas, lelah, dan syukur. Yang baru saya rasakan selepas bangku sekolah dan menyandang status mahasiswa, di sebuah gunung yang sering dianggap mudah tetapi tetap saja menyimpan sejuta makna: Gunung Manglayang.


Hari itu 9 September 2016. Saya injakkan lagi kaki saya di 1818 meter di atas permukaan laut, di tanah basah yang akan saya ingat sebagai salah satu medan cukup berat (dan seketika bersyukur karena malam sebelumnya kami tak harus mendaki sambil berbecek-becek ria) sepanjang catatan pendakian saya yang masih seumur jagung ini.

Beberapa minggu sebelumnya, muncul obrolan santai di himpunan bersama teman-teman gunung saya (teman gunung…..hm, terkesan pro…..padahal……..(asumsikan sendiri)). “Manglayang, yuk, Manglayang.” Bak pemudi dimabuk asmara, saya yang masih euphoria adrenalin naik-turun gunung pun menanggapi dengan sangat semangat. “YUK!”, balas saya seketika.   Toh, masa alumni Gunung Semeru, gunung tertinggi di Jawa, ini gamau naik gunung-gunung cetek macam Manglayang?! Haha, tipikal anak muda yang sombong setelah mendaki atap Jawa.

Beberapa malam sebelum naik gunung saya habiskan waktu menanyai teman-teman saya tentang itinerary keberangkatan. Sudah tiga kali naik gunung, daftar itinerary khas gunung saya masih nol besar. Sanga menyedihkan. Jangankan spek kelompok seperti nesting dan tenda, spek-spek pribadi macam tas karier, matras, dan sleeping bag saja saya tak punya, Parahnya lagi, hal-hal dasar seperti jaket tebal dan celana outdoor saja saya masih pinjam. (Ngomong-ngomong, menulis ini membuat saya semakin miris pada diri sendiri……dan menyadari betapa cupunya saya yang masih newbie hiker tetapi sudah sok-sokan sombong ini).

Grup chat yang sepi dan rencana perjalanan yang tak jelas membuat rencana ini terlihat seperti akan berakhir wacana (lagi). Tetapi masa bodohlah, yang penting kalau jadi saya sudah punya barang-barangnya, pikir saya.

“Yaelah lu ngapain sih pinjem karier gede-gede. Pake ransel lu sekarang aja udah bisa kok.”, kata teman saya saat akan pinjem tas karier 45 liter. “Gue pake sendal jepit juga sampe puncak kok, gausah pake sepatu gunung segala alay lu.”, ganti katanya saat saya ingin pinjem sepatu gunungnya. “Udah gausa bawa jaket banyak-banyak. Keberatan ntar tas lu.”, dia menambahkan saat saya memasukkan dua jaket ke karier saya. Dan saran-saran (atau suruhan? Entah) lain yang dia layangkan ketika melihat betapa rempongnya saya menyiapkan pendakian yang katanya sangat mudah ini.

Hari itu pun tiba. Dengan praktikum yang baru selesai pukul 4 sore ditambah kami yang masih bingung dengan itinerary sendiri serta rencana peerjalanan yang masih belum jelas, tiba juga saya di himpunan dengan penampilan khas anak gunung: celana kargo, kaos, jaket tebal, sepatu gunung, dan karier dengan matras diluarnya. Salah satu ootd favorit saya (simply karena ootd macam ini ga banyak yang pake hehe). Setelah cek spek bersama dan meerencanakan perjalanan, berangkatlah kami ke Jatinangor jam..............9.15 malam!!!


Tetapi memang dasarnya rencana dadakan, di waktu yang sudah mepet itupun kami masih ke persewaan tenda dulu. Sehabis dari sana, langung kami bermotor 3 pasang menuju Katinangor menembus dingin (dan sedikit gerimis sebenanya). Untunglah jalan lengang sehingga pukul 11 malam kami sudah tiba di Jatinangor. Ya, kami sempat khawatir karena itu adalah libur panjang Idul Adha maka jalanan pasti akan supeermacet. Sempat diwarnai insiden nyasar, kami tiba di basecamp pendakian pukul 11.15 malam dan mulai mendaki pukul 11.30.

Sempat takut akan hujan, ternyata Tuhan masih berbaik hati. Cuaca hanya mendung dan sesekali agak gerimis tetapi lalu berhenti. Menit demi menit berlalu, jalanan yang tadinya hanya tanjakan berubah menjadi cukup terjal dan berliku. Yang tadinya hanya mengandalkan kaki, kini tanganpun ikut kotor. “Harus kuat, harus kuat.”, ucap saya pada diri sendiri. Pertama kali saya naik gunung, kakak tingkat saya pernah bilang: “Beth, fase paling capek waktu naik gunung itu 30 menit pertama.” DAN YA! Sampai saat ini saya benar-benar merasakan hal itu. 30 menit pertama adalah masa penyesuaian, dan parahnya lagi saya baru ingat bahwa sebelum naik Manglayang ini, alih-alih ada latihan fisik, kami bahkan tidak melakukan pemanasan. DUH! Tapi ya, apa boleh buat.

Mensugesti diri sendiri selalu saya lakukan di 30 menit pertama, apalagi mengingat teman saya selalu bilang Manglayang adalah gunung yang “santi”. “Capeknya karena masih 30 menit, ntar juga kebiasa.” Terus jalan dan mendaki dengan sesekali istirahat (hmm....banyak kali sih sebenernya HAHA). Tapi keyakinan saya ini kok rasanya semakin goyah....Kenapa capeknya ga berhenti-berhenti ya? Ini kenapa saya ngga semakin terbiasa? Ini kenapa jadi makin sering istirahat? Alah-alah, ternyata teman saya ini bohong semua ya. Mana ada Manglayang santi.......tanjakannya saja membuat saya ingin berkata astagfirullah. Bahkan kalo boleh saya bilang, Manglayang ini lebih susah  dibanding medan Semeru (Ranu Pane menuju Ranu Kumbolo, kalo ke puncak sih ya jangan ditanya)... Belum lagi kondisinya setelah hujan. Meskipun tanahnya tiddak becek, tetapi tetap saja.....licin. DAN, tidak ada bintang..............huf (sambil menghembuskan nafas sedih).

Kalau biasanya tiap naik gunung capek dan istirahat, melihat ke atas langit adalah terapi terbaik. Luas, hitam, dan berbinar. Bintang itu indah dan menumbuhkan harapan. Apalagi kalau cuacanya sedang cerah. Hormon kebahagiaan saya seakan tetiba muncul dan menghilangkan stres saat melihat bintang. Tentunya, capek-capek juga seakan hilang seketika (well, ga selalu sih).

Walhasil karena tak ada bintang di langit, pemandangan satu-satunya yang bisa kami lihat selain hamparan pohon di samping kanan-kiri, adalah pemandangan kota di malam hari. Untung gunung ini tidak begitu tinggi sehingga suasana Bandung dan Jatinangor masih terlihat cukup jelas dari sini. Lampu-lampu, sunyi, dan syahdu. Kadang, tidak ada yang bisa mengalahkan pemandangan kota di malam  hari. Melihat cahaya berpendar dari ribuan lampu yang dinyalakan untuk penerangan jalan, dan ribuan lainnya yang mati untuk penghematan. Melihat lampu-lampu itu seakan melihat manusia. Dia yang siang terlihat gagah, keren, dan angkuh. Saat malam, ia hanya akan seperti manusia biasa. Membutuhkan istirahat dan pengertian bahwa ia tak bisa selamanya angkuh. Jika keadaan manusia paling jujur adalah saat sedang tidur, maka keadaan kota yang paling jujur adalah saat malam.

Melihat pemandangan itu membuat saya semangat lagi untuk naik. Yah, meskipun medan ke depan akan sama saja susah dan menanjaknya dibanding yang barusan. Sempat jatuh, kepleset, tergores, dan digigit kucing (IYA, KUCING) adalah hal-hal yang kadang saya tunggu-tunggu saat naik gunung dan saya mengalaminya! Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa ada kucing disitu.....? Entah kami pun bingung. Dia seakan menjadi peliharaan kami selama naik gunung. Sejak berangkat hingga turun, kucing ini selalu mendampingi, entah dia di depan atau di belakang. Meskipun dengan begitu ia tetap tidak bisa dikategorikan kucing baik juga sih (ingat dia menggigit saya saat saya mengelus bulunya!!!).

Jam berlalu dan sesekali gerimis turun. Pukul 1.30 malam, gerimis ini tiba-tiba mulai deras. Loh loh? Kok tiba-tiba Tuhan? Kami yang mulai panik karena hujan mulai membulatkan tekad untuk lebih sering jalan dibanding istirahat.....meskipun badan berkata lain. Tanpa hujan saja medan ini sudah melelahkan dan penuh perjuangan, bagaimana jika hujan? Bukankah kami yang awalnya sudah susah-susah memanjat (ya, medannya lebih dibilang wall climbing daripada hanya sekedar mendaki) ini malah makin sering kepleset?

Satu, dua, tiga tanjakan lagi dan tibalah kami di puncak bayangan. Oh ya, orang bilang Manglayang memang yang dicari adalah Puncak Bayangannya karena disini memang lebih bagus pemandangannya. Ada bagian yang tidak tertutup pohon sehingga kita bisa melihat sunrise dengan saaaangat puas. Setelah mendirikan tenda, kami segera memasak, meskipun hanya minuman sachet dan mie instan tapi sungguh, makanan-makanan ini rasanya memang lebih enak kalau dimakan dengan penuh perjuangan.



Cerita-cerita lalu mengisi agenda malam itu. Kalian pernah dengar quotes ‘You will not find any wifi on mountains, but you will find a better connection’? Ya, hal itu benar sekali adanya. Candaan, tertawaan, gosip, dan beberapa pengakuan jujur keluar dari mulut kami dengan lepas. Kalau ada orang yang bertanya, kenapa suka naik gunung? Reaksi saya kadang hanya tersenyum.......dan menarik nafas panjang, lalu dibuang. Kenapa? Saya tidak tahu. Yang saya cari dari pendakian-pendakian ini bukan hanya kepuasan mendapatkan puncak, tapi ini. Obrolan jujur di malam hari, tidak ada internet, tidak ada tuntutan, hanya waktu yang berkualitas. Gunung bisa mengubah strangers menjadi family. Saya yakin, teman-teman yang pernah naik gunung dengan saya tidak akan hanya berakhir teman yang sekedar kenal pada akhirnya.....tetapi teman untuk hidup. Yang akan saya beri bantuan ketika mereka membutuhkan dan yang akan saya hubungi saat saya membutuhkan, seperti apa yang pernah kami lakukan bersama di gunung.

Gunung adalah tempat yang agung. Bukan hanya bagi yang kuat, gunung adalah tempat bagi yang mau. Naik gunung tidak butuh otot, ia butuh hati. Hati untuk berjalan, untuk membantu, untuk tetap berjuang apapun kondisinya. Ia tidak menawarkan kenyamanan, tetapi ia menjamin sebuah kata bernama makna di akhir perjalanan ini. And this is the purest of them all.

Beserta gerimis yang semakin deras dan hujan yang turun tanpa dinyana, malam itu kami tutup dengan sebuah cerita tentang cita-cita kami selepas lulus nanti. Sebuah sesi di malam yang sunyi yang barangkali akan menumbuhkan motivasi-motivasi kecil di masing-masing kami, yang siapa sangka, dimulai dari obrolan kecil di sebuah tanah beribu meter di atas permukaan laut bernama Gunung Manglayang.





 ***

Cerita ditulis pada Desember 2016, sebagai esai syarat keanggoataan salah satu unit di ITB (Pelita Muda). Guess what? Aku nggak lanjut Pelita Muda ((life)). It's okay, I'm still living the best college life back then. Salah satu kebahagiaanku malam ini:

  • Menemukan tulisan lama (yang bahkan nggak inget pernah nulis ini)
  • Isinya bikin kita nostalgia
  • Isi 'kenapa aku naik gunung' masih relevan sampai sekarang
Selalu bersyukur Tuhan mempertemukanku dengan kegiatan bernama naik gunung. Certainly not the BEST hiker out there, but I do enjoy every second hiking. Terima kasih untuk alam yang indah ya Tuhan. Terima kasih untuk badan yang memampukanku ya Tuhan. Terima kasih untuk teman-teman gunung yang baik yang sudah dipertemukan denganku ya Tuhan. Semoga aku bisa selalu bersyukur atas hal-hal sederhana dalam hidup, seperti embun pagi di mendungnya Manglayang, maupun angin kencang di summit attack Rinjani. Alhamdulillah.

PS: Well... I've been quite emotional lately talking about mountaineering. Guess what (again)? I survived 5-hour bullet hike to the peak of Rinjani, 3726 elevation. Gonna write soon I promise!

July 12, 2021