Pohon-pohon
tinggi beserta rintik hujan menyambut satu perasaan yang kini mulai terasa tak
asing lagi bagi saya. Perasaan campuran antara rasa senang, bangga, puas,
lelah, dan syukur. Yang baru saya rasakan selepas bangku sekolah dan menyandang
status mahasiswa, di sebuah gunung yang sering dianggap mudah tetapi tetap saja
menyimpan sejuta makna: Gunung Manglayang.
Hari itu 9
September 2016. Saya injakkan lagi kaki saya di 1818 meter di atas permukaan
laut, di tanah basah yang akan saya ingat sebagai salah satu medan cukup berat
(dan seketika bersyukur karena malam sebelumnya kami tak harus mendaki sambil
berbecek-becek ria) sepanjang catatan pendakian saya yang masih seumur jagung
ini.
Beberapa
minggu sebelumnya, muncul obrolan santai di himpunan bersama teman-teman gunung
saya (teman gunung…..hm, terkesan pro…..padahal……..(asumsikan sendiri)).
“Manglayang, yuk, Manglayang.” Bak pemudi dimabuk asmara, saya yang masih
euphoria adrenalin naik-turun gunung pun menanggapi dengan sangat semangat. “YUK!”,
balas saya seketika. Toh, masa alumni
Gunung Semeru, gunung tertinggi di Jawa, ini gamau naik gunung-gunung cetek
macam Manglayang?! Haha, tipikal anak muda yang sombong setelah mendaki atap
Jawa.
Beberapa
malam sebelum naik gunung saya habiskan waktu menanyai teman-teman saya tentang
itinerary keberangkatan. Sudah tiga kali naik gunung, daftar itinerary khas
gunung saya masih nol besar. Sanga menyedihkan. Jangankan spek kelompok seperti
nesting dan tenda, spek-spek pribadi macam tas karier, matras, dan sleeping bag saja saya tak punya,
Parahnya lagi, hal-hal dasar seperti jaket tebal dan celana outdoor saja saya masih pinjam.
(Ngomong-ngomong, menulis ini membuat saya semakin miris pada diri sendiri……dan
menyadari betapa cupunya saya yang masih newbie
hiker tetapi sudah sok-sokan sombong ini).
Grup chat yang sepi dan rencana perjalanan yang tak jelas membuat rencana ini terlihat seperti akan
berakhir wacana (lagi). Tetapi masa bodohlah, yang penting kalau jadi saya
sudah punya barang-barangnya, pikir saya.
“Yaelah lu ngapain sih pinjem karier gede-gede. Pake ransel lu sekarang aja udah bisa kok.”, kata teman saya saat akan pinjem tas karier 45 liter. “Gue pake sendal jepit juga sampe puncak kok, gausah pake sepatu gunung segala alay lu.”, ganti katanya saat saya ingin pinjem sepatu gunungnya. “Udah gausa bawa jaket banyak-banyak. Keberatan ntar tas lu.”, dia menambahkan saat saya memasukkan dua jaket ke karier saya. Dan saran-saran (atau suruhan? Entah) lain yang dia layangkan ketika melihat betapa rempongnya saya menyiapkan pendakian yang katanya sangat mudah ini.
Hari itu pun
tiba. Dengan praktikum yang baru selesai pukul 4 sore ditambah kami yang masih
bingung dengan itinerary sendiri serta rencana peerjalanan yang masih belum
jelas, tiba juga saya di himpunan dengan penampilan khas anak gunung: celana
kargo, kaos, jaket tebal, sepatu gunung, dan karier dengan matras diluarnya.
Salah satu ootd favorit saya (simply karena ootd macam ini ga banyak yang pake
hehe). Setelah cek spek bersama dan meerencanakan perjalanan, berangkatlah kami
ke Jatinangor jam..............9.15 malam!!!
Tetapi memang
dasarnya rencana dadakan, di waktu yang sudah mepet itupun kami masih ke
persewaan tenda dulu. Sehabis dari sana, langung kami bermotor 3 pasang menuju
Katinangor menembus dingin (dan sedikit gerimis sebenanya). Untunglah jalan
lengang sehingga pukul 11 malam kami sudah tiba di Jatinangor. Ya, kami sempat
khawatir karena itu adalah libur panjang Idul Adha maka jalanan pasti akan
supeermacet. Sempat diwarnai insiden nyasar, kami tiba di basecamp pendakian
pukul 11.15 malam dan mulai mendaki pukul 11.30.
Sempat takut akan
hujan, ternyata Tuhan masih berbaik hati. Cuaca hanya mendung dan sesekali agak
gerimis tetapi lalu berhenti. Menit demi menit berlalu, jalanan yang tadinya
hanya tanjakan berubah menjadi cukup terjal dan berliku. Yang tadinya hanya
mengandalkan kaki, kini tanganpun ikut kotor. “Harus kuat, harus kuat.”, ucap
saya pada diri sendiri. Pertama kali saya naik gunung, kakak tingkat saya
pernah bilang: “Beth, fase paling capek waktu naik gunung itu 30 menit
pertama.” DAN YA! Sampai saat ini saya benar-benar merasakan hal itu. 30 menit
pertama adalah masa penyesuaian, dan parahnya lagi saya baru ingat bahwa
sebelum naik Manglayang ini, alih-alih ada latihan fisik, kami bahkan tidak
melakukan pemanasan. DUH! Tapi ya, apa boleh buat.
Mensugesti diri
sendiri selalu saya lakukan di 30 menit pertama, apalagi mengingat teman saya
selalu bilang Manglayang adalah gunung yang “santi”. “Capeknya karena masih 30
menit, ntar juga kebiasa.” Terus jalan dan mendaki dengan sesekali istirahat
(hmm....banyak kali sih sebenernya HAHA). Tapi keyakinan saya ini kok rasanya
semakin goyah....Kenapa capeknya ga berhenti-berhenti ya? Ini kenapa saya ngga
semakin terbiasa? Ini kenapa jadi makin sering istirahat? Alah-alah, ternyata
teman saya ini bohong semua ya. Mana ada Manglayang santi.......tanjakannya
saja membuat saya ingin berkata astagfirullah. Bahkan kalo boleh saya bilang,
Manglayang ini lebih susah dibanding
medan Semeru (Ranu Pane menuju Ranu Kumbolo, kalo ke puncak sih ya jangan
ditanya)... Belum lagi kondisinya setelah hujan. Meskipun tanahnya tiddak
becek, tetapi tetap saja.....licin. DAN, tidak ada bintang..............huf
(sambil menghembuskan nafas sedih).
Kalau biasanya tiap naik gunung capek dan istirahat, melihat ke atas langit adalah terapi terbaik. Luas, hitam, dan berbinar. Bintang itu indah dan menumbuhkan harapan. Apalagi kalau cuacanya sedang cerah. Hormon kebahagiaan saya seakan tetiba muncul dan menghilangkan stres saat melihat bintang. Tentunya, capek-capek juga seakan hilang seketika (well, ga selalu sih).
Walhasil karena
tak ada bintang di langit, pemandangan satu-satunya yang bisa kami lihat selain
hamparan pohon di samping kanan-kiri, adalah pemandangan kota di malam hari.
Untung gunung ini tidak begitu tinggi sehingga suasana Bandung dan Jatinangor
masih terlihat cukup jelas dari sini. Lampu-lampu, sunyi, dan syahdu. Kadang,
tidak ada yang bisa mengalahkan pemandangan kota di malam hari. Melihat cahaya berpendar dari ribuan
lampu yang dinyalakan untuk penerangan jalan, dan ribuan lainnya yang mati
untuk penghematan. Melihat lampu-lampu itu seakan melihat manusia. Dia yang
siang terlihat gagah, keren, dan angkuh. Saat malam, ia hanya akan seperti
manusia biasa. Membutuhkan istirahat dan pengertian bahwa ia tak bisa selamanya
angkuh. Jika keadaan manusia paling jujur adalah saat sedang tidur, maka
keadaan kota yang paling jujur adalah saat malam.
Melihat
pemandangan itu membuat saya semangat lagi untuk naik. Yah, meskipun medan ke
depan akan sama saja susah dan menanjaknya dibanding yang barusan. Sempat
jatuh, kepleset, tergores, dan digigit kucing (IYA, KUCING) adalah hal-hal yang
kadang saya tunggu-tunggu saat naik gunung dan saya mengalaminya! Mungkin
kalian bertanya-tanya kenapa ada kucing disitu.....? Entah kami pun bingung.
Dia seakan menjadi peliharaan kami selama naik gunung. Sejak berangkat hingga
turun, kucing ini selalu mendampingi, entah dia di depan atau di belakang.
Meskipun dengan begitu ia tetap tidak bisa dikategorikan kucing baik juga sih
(ingat dia menggigit saya saat saya mengelus bulunya!!!).
Jam berlalu dan
sesekali gerimis turun. Pukul 1.30 malam, gerimis ini tiba-tiba mulai deras.
Loh loh? Kok tiba-tiba Tuhan? Kami yang mulai panik karena hujan mulai
membulatkan tekad untuk lebih sering jalan dibanding istirahat.....meskipun
badan berkata lain. Tanpa hujan saja medan ini sudah melelahkan dan penuh
perjuangan, bagaimana jika hujan? Bukankah kami yang awalnya sudah susah-susah
memanjat (ya, medannya lebih dibilang wall climbing daripada hanya sekedar
mendaki) ini malah makin sering kepleset?
Satu, dua, tiga
tanjakan lagi dan tibalah kami di puncak bayangan. Oh ya, orang bilang
Manglayang memang yang dicari adalah Puncak Bayangannya karena disini memang
lebih bagus pemandangannya. Ada bagian yang tidak tertutup pohon sehingga kita
bisa melihat sunrise dengan saaaangat puas. Setelah mendirikan tenda, kami
segera memasak, meskipun hanya minuman sachet dan mie instan tapi sungguh,
makanan-makanan ini rasanya memang lebih enak kalau dimakan dengan penuh
perjuangan.
Cerita-cerita
lalu mengisi agenda malam itu. Kalian pernah dengar quotes ‘You will not find
any wifi on mountains, but you will find a better connection’? Ya, hal itu
benar sekali adanya. Candaan, tertawaan, gosip, dan beberapa pengakuan jujur
keluar dari mulut kami dengan lepas. Kalau ada orang yang bertanya, kenapa suka naik gunung? Reaksi saya kadang hanya
tersenyum.......dan menarik nafas panjang, lalu dibuang. Kenapa? Saya tidak
tahu. Yang saya cari dari pendakian-pendakian ini bukan hanya kepuasan
mendapatkan puncak, tapi ini. Obrolan jujur di malam hari, tidak ada internet,
tidak ada tuntutan, hanya waktu yang berkualitas. Gunung bisa mengubah strangers menjadi family. Saya yakin, teman-teman yang pernah naik gunung dengan saya
tidak akan hanya berakhir teman yang sekedar kenal pada akhirnya.....tetapi
teman untuk hidup. Yang akan saya beri bantuan ketika mereka membutuhkan dan
yang akan saya hubungi saat saya membutuhkan, seperti apa yang pernah kami
lakukan bersama di gunung.
Gunung adalah
tempat yang agung. Bukan hanya bagi yang kuat, gunung adalah tempat bagi yang
mau. Naik gunung tidak butuh otot, ia butuh hati. Hati untuk berjalan, untuk
membantu, untuk tetap berjuang apapun kondisinya. Ia tidak menawarkan
kenyamanan, tetapi ia menjamin sebuah kata bernama makna di akhir perjalanan
ini. And this is the purest of them all.
Beserta gerimis
yang semakin deras dan hujan yang turun tanpa dinyana, malam itu kami tutup
dengan sebuah cerita tentang cita-cita kami selepas lulus nanti. Sebuah sesi di
malam yang sunyi yang barangkali akan menumbuhkan motivasi-motivasi kecil di
masing-masing kami, yang siapa sangka, dimulai dari obrolan kecil di sebuah
tanah beribu meter di atas permukaan laut bernama Gunung Manglayang.
- Menemukan tulisan lama (yang bahkan nggak inget pernah nulis ini)
- Isinya bikin kita nostalgia
- Isi 'kenapa aku naik gunung' masih relevan sampai sekarang
PS: Well... I've been quite emotional lately talking about mountaineering. Guess what (again)? I survived 5-hour bullet hike to the peak of Rinjani, 3726 elevation. Gonna write soon I promise!
No comments:
Post a Comment