Pages

July 15, 2021

Manglayang, 2016.

Pohon-pohon tinggi beserta rintik hujan menyambut satu perasaan yang kini mulai terasa tak asing lagi bagi saya. Perasaan campuran antara rasa senang, bangga, puas, lelah, dan syukur. Yang baru saya rasakan selepas bangku sekolah dan menyandang status mahasiswa, di sebuah gunung yang sering dianggap mudah tetapi tetap saja menyimpan sejuta makna: Gunung Manglayang.


Hari itu 9 September 2016. Saya injakkan lagi kaki saya di 1818 meter di atas permukaan laut, di tanah basah yang akan saya ingat sebagai salah satu medan cukup berat (dan seketika bersyukur karena malam sebelumnya kami tak harus mendaki sambil berbecek-becek ria) sepanjang catatan pendakian saya yang masih seumur jagung ini.

Beberapa minggu sebelumnya, muncul obrolan santai di himpunan bersama teman-teman gunung saya (teman gunung…..hm, terkesan pro…..padahal……..(asumsikan sendiri)). “Manglayang, yuk, Manglayang.” Bak pemudi dimabuk asmara, saya yang masih euphoria adrenalin naik-turun gunung pun menanggapi dengan sangat semangat. “YUK!”, balas saya seketika.   Toh, masa alumni Gunung Semeru, gunung tertinggi di Jawa, ini gamau naik gunung-gunung cetek macam Manglayang?! Haha, tipikal anak muda yang sombong setelah mendaki atap Jawa.

Beberapa malam sebelum naik gunung saya habiskan waktu menanyai teman-teman saya tentang itinerary keberangkatan. Sudah tiga kali naik gunung, daftar itinerary khas gunung saya masih nol besar. Sanga menyedihkan. Jangankan spek kelompok seperti nesting dan tenda, spek-spek pribadi macam tas karier, matras, dan sleeping bag saja saya tak punya, Parahnya lagi, hal-hal dasar seperti jaket tebal dan celana outdoor saja saya masih pinjam. (Ngomong-ngomong, menulis ini membuat saya semakin miris pada diri sendiri……dan menyadari betapa cupunya saya yang masih newbie hiker tetapi sudah sok-sokan sombong ini).

Grup chat yang sepi dan rencana perjalanan yang tak jelas membuat rencana ini terlihat seperti akan berakhir wacana (lagi). Tetapi masa bodohlah, yang penting kalau jadi saya sudah punya barang-barangnya, pikir saya.

“Yaelah lu ngapain sih pinjem karier gede-gede. Pake ransel lu sekarang aja udah bisa kok.”, kata teman saya saat akan pinjem tas karier 45 liter. “Gue pake sendal jepit juga sampe puncak kok, gausah pake sepatu gunung segala alay lu.”, ganti katanya saat saya ingin pinjem sepatu gunungnya. “Udah gausa bawa jaket banyak-banyak. Keberatan ntar tas lu.”, dia menambahkan saat saya memasukkan dua jaket ke karier saya. Dan saran-saran (atau suruhan? Entah) lain yang dia layangkan ketika melihat betapa rempongnya saya menyiapkan pendakian yang katanya sangat mudah ini.

Hari itu pun tiba. Dengan praktikum yang baru selesai pukul 4 sore ditambah kami yang masih bingung dengan itinerary sendiri serta rencana peerjalanan yang masih belum jelas, tiba juga saya di himpunan dengan penampilan khas anak gunung: celana kargo, kaos, jaket tebal, sepatu gunung, dan karier dengan matras diluarnya. Salah satu ootd favorit saya (simply karena ootd macam ini ga banyak yang pake hehe). Setelah cek spek bersama dan meerencanakan perjalanan, berangkatlah kami ke Jatinangor jam..............9.15 malam!!!


Tetapi memang dasarnya rencana dadakan, di waktu yang sudah mepet itupun kami masih ke persewaan tenda dulu. Sehabis dari sana, langung kami bermotor 3 pasang menuju Katinangor menembus dingin (dan sedikit gerimis sebenanya). Untunglah jalan lengang sehingga pukul 11 malam kami sudah tiba di Jatinangor. Ya, kami sempat khawatir karena itu adalah libur panjang Idul Adha maka jalanan pasti akan supeermacet. Sempat diwarnai insiden nyasar, kami tiba di basecamp pendakian pukul 11.15 malam dan mulai mendaki pukul 11.30.

Sempat takut akan hujan, ternyata Tuhan masih berbaik hati. Cuaca hanya mendung dan sesekali agak gerimis tetapi lalu berhenti. Menit demi menit berlalu, jalanan yang tadinya hanya tanjakan berubah menjadi cukup terjal dan berliku. Yang tadinya hanya mengandalkan kaki, kini tanganpun ikut kotor. “Harus kuat, harus kuat.”, ucap saya pada diri sendiri. Pertama kali saya naik gunung, kakak tingkat saya pernah bilang: “Beth, fase paling capek waktu naik gunung itu 30 menit pertama.” DAN YA! Sampai saat ini saya benar-benar merasakan hal itu. 30 menit pertama adalah masa penyesuaian, dan parahnya lagi saya baru ingat bahwa sebelum naik Manglayang ini, alih-alih ada latihan fisik, kami bahkan tidak melakukan pemanasan. DUH! Tapi ya, apa boleh buat.

Mensugesti diri sendiri selalu saya lakukan di 30 menit pertama, apalagi mengingat teman saya selalu bilang Manglayang adalah gunung yang “santi”. “Capeknya karena masih 30 menit, ntar juga kebiasa.” Terus jalan dan mendaki dengan sesekali istirahat (hmm....banyak kali sih sebenernya HAHA). Tapi keyakinan saya ini kok rasanya semakin goyah....Kenapa capeknya ga berhenti-berhenti ya? Ini kenapa saya ngga semakin terbiasa? Ini kenapa jadi makin sering istirahat? Alah-alah, ternyata teman saya ini bohong semua ya. Mana ada Manglayang santi.......tanjakannya saja membuat saya ingin berkata astagfirullah. Bahkan kalo boleh saya bilang, Manglayang ini lebih susah  dibanding medan Semeru (Ranu Pane menuju Ranu Kumbolo, kalo ke puncak sih ya jangan ditanya)... Belum lagi kondisinya setelah hujan. Meskipun tanahnya tiddak becek, tetapi tetap saja.....licin. DAN, tidak ada bintang..............huf (sambil menghembuskan nafas sedih).

Kalau biasanya tiap naik gunung capek dan istirahat, melihat ke atas langit adalah terapi terbaik. Luas, hitam, dan berbinar. Bintang itu indah dan menumbuhkan harapan. Apalagi kalau cuacanya sedang cerah. Hormon kebahagiaan saya seakan tetiba muncul dan menghilangkan stres saat melihat bintang. Tentunya, capek-capek juga seakan hilang seketika (well, ga selalu sih).

Walhasil karena tak ada bintang di langit, pemandangan satu-satunya yang bisa kami lihat selain hamparan pohon di samping kanan-kiri, adalah pemandangan kota di malam hari. Untung gunung ini tidak begitu tinggi sehingga suasana Bandung dan Jatinangor masih terlihat cukup jelas dari sini. Lampu-lampu, sunyi, dan syahdu. Kadang, tidak ada yang bisa mengalahkan pemandangan kota di malam  hari. Melihat cahaya berpendar dari ribuan lampu yang dinyalakan untuk penerangan jalan, dan ribuan lainnya yang mati untuk penghematan. Melihat lampu-lampu itu seakan melihat manusia. Dia yang siang terlihat gagah, keren, dan angkuh. Saat malam, ia hanya akan seperti manusia biasa. Membutuhkan istirahat dan pengertian bahwa ia tak bisa selamanya angkuh. Jika keadaan manusia paling jujur adalah saat sedang tidur, maka keadaan kota yang paling jujur adalah saat malam.

Melihat pemandangan itu membuat saya semangat lagi untuk naik. Yah, meskipun medan ke depan akan sama saja susah dan menanjaknya dibanding yang barusan. Sempat jatuh, kepleset, tergores, dan digigit kucing (IYA, KUCING) adalah hal-hal yang kadang saya tunggu-tunggu saat naik gunung dan saya mengalaminya! Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa ada kucing disitu.....? Entah kami pun bingung. Dia seakan menjadi peliharaan kami selama naik gunung. Sejak berangkat hingga turun, kucing ini selalu mendampingi, entah dia di depan atau di belakang. Meskipun dengan begitu ia tetap tidak bisa dikategorikan kucing baik juga sih (ingat dia menggigit saya saat saya mengelus bulunya!!!).

Jam berlalu dan sesekali gerimis turun. Pukul 1.30 malam, gerimis ini tiba-tiba mulai deras. Loh loh? Kok tiba-tiba Tuhan? Kami yang mulai panik karena hujan mulai membulatkan tekad untuk lebih sering jalan dibanding istirahat.....meskipun badan berkata lain. Tanpa hujan saja medan ini sudah melelahkan dan penuh perjuangan, bagaimana jika hujan? Bukankah kami yang awalnya sudah susah-susah memanjat (ya, medannya lebih dibilang wall climbing daripada hanya sekedar mendaki) ini malah makin sering kepleset?

Satu, dua, tiga tanjakan lagi dan tibalah kami di puncak bayangan. Oh ya, orang bilang Manglayang memang yang dicari adalah Puncak Bayangannya karena disini memang lebih bagus pemandangannya. Ada bagian yang tidak tertutup pohon sehingga kita bisa melihat sunrise dengan saaaangat puas. Setelah mendirikan tenda, kami segera memasak, meskipun hanya minuman sachet dan mie instan tapi sungguh, makanan-makanan ini rasanya memang lebih enak kalau dimakan dengan penuh perjuangan.



Cerita-cerita lalu mengisi agenda malam itu. Kalian pernah dengar quotes ‘You will not find any wifi on mountains, but you will find a better connection’? Ya, hal itu benar sekali adanya. Candaan, tertawaan, gosip, dan beberapa pengakuan jujur keluar dari mulut kami dengan lepas. Kalau ada orang yang bertanya, kenapa suka naik gunung? Reaksi saya kadang hanya tersenyum.......dan menarik nafas panjang, lalu dibuang. Kenapa? Saya tidak tahu. Yang saya cari dari pendakian-pendakian ini bukan hanya kepuasan mendapatkan puncak, tapi ini. Obrolan jujur di malam hari, tidak ada internet, tidak ada tuntutan, hanya waktu yang berkualitas. Gunung bisa mengubah strangers menjadi family. Saya yakin, teman-teman yang pernah naik gunung dengan saya tidak akan hanya berakhir teman yang sekedar kenal pada akhirnya.....tetapi teman untuk hidup. Yang akan saya beri bantuan ketika mereka membutuhkan dan yang akan saya hubungi saat saya membutuhkan, seperti apa yang pernah kami lakukan bersama di gunung.

Gunung adalah tempat yang agung. Bukan hanya bagi yang kuat, gunung adalah tempat bagi yang mau. Naik gunung tidak butuh otot, ia butuh hati. Hati untuk berjalan, untuk membantu, untuk tetap berjuang apapun kondisinya. Ia tidak menawarkan kenyamanan, tetapi ia menjamin sebuah kata bernama makna di akhir perjalanan ini. And this is the purest of them all.

Beserta gerimis yang semakin deras dan hujan yang turun tanpa dinyana, malam itu kami tutup dengan sebuah cerita tentang cita-cita kami selepas lulus nanti. Sebuah sesi di malam yang sunyi yang barangkali akan menumbuhkan motivasi-motivasi kecil di masing-masing kami, yang siapa sangka, dimulai dari obrolan kecil di sebuah tanah beribu meter di atas permukaan laut bernama Gunung Manglayang.





 ***

Cerita ditulis pada Desember 2016, sebagai esai syarat keanggoataan salah satu unit di ITB (Pelita Muda). Guess what? Aku nggak lanjut Pelita Muda ((life)). It's okay, I'm still living the best college life back then. Salah satu kebahagiaanku malam ini:

  • Menemukan tulisan lama (yang bahkan nggak inget pernah nulis ini)
  • Isinya bikin kita nostalgia
  • Isi 'kenapa aku naik gunung' masih relevan sampai sekarang
Selalu bersyukur Tuhan mempertemukanku dengan kegiatan bernama naik gunung. Certainly not the BEST hiker out there, but I do enjoy every second hiking. Terima kasih untuk alam yang indah ya Tuhan. Terima kasih untuk badan yang memampukanku ya Tuhan. Terima kasih untuk teman-teman gunung yang baik yang sudah dipertemukan denganku ya Tuhan. Semoga aku bisa selalu bersyukur atas hal-hal sederhana dalam hidup, seperti embun pagi di mendungnya Manglayang, maupun angin kencang di summit attack Rinjani. Alhamdulillah.

PS: Well... I've been quite emotional lately talking about mountaineering. Guess what (again)? I survived 5-hour bullet hike to the peak of Rinjani, 3726 elevation. Gonna write soon I promise!

No comments:

Post a Comment